Parade Teater Linimasa #8 di Taman Budaya Yogyakarta Singgung Isu Krusial, Warisan dan Rumah Tinggal

BerandaJogja.com (26/06/25) – Taman Budaya Yogyakarta (TBY) kembali menggelar parade Teater Taman Budaya Yogyakarta Linimasa #8 pada 20 Juni 2025 lalu.  Parade teater kali ini mengusung tema ‘Tanah, Pewarisan dan Problematika (Ruang Tinggal)’.

Kepala Taman Budaya Yogyakarta, Purwiati mengungkapkan, Parade Teater Linimasa #8 menampilkan sejumlah komunitas teater. Diantaranya kelompok Teater SD Tumbuh 2 dengan judul ‘Planeto’ disutradarai Paksi Raras Alit.

Selain itu Perkumpulan Seni Nusantara Baca berjudul ‘Tanah Warisan’ dengan sutradara Landung Simatupang, dan kelompok Tarikatur berjudul ‘Mau Kemana Lagi?’ dengan sutradara Hanif Joaniko Putra.

“Parade Teater THY 2025 bukan hanya agenda seni, melainkan ikhtiar estetis untuk mempertanyakan kembali relasi manusia dengan tanah, warisan, dan masa depan hidup bersama. Teater Linimasa memang dikembangkan sebagai ruang eksperimen, bukan hanya dialog, tapi juga eksplorasi musik, gerak dan visual,” ungkapnya.

Sementara aktivis teater, Elyandra Widharta mengungkapkan di Yogyakarta hari ini, tanah seringkali menjadi sumber pertikaian. Warisan yang direbut, ruang tinggal yang terancam hingga relasi sosial yang koyak karena kepentingan-kepentingan ekonomi dan simbolik.

“Isu ini tak hanya menyeruak di meja pengadilan atau dalam aksi protes warga. Namun kali ini  juga dipentaskan di panggung teater,” ujarnya.

Pentas teater, lanjutnya diharapkan menjadi medium untuk menyalakan kembali ingatan kolektif dan mempertanyakan warisan macam apa yang sedang diwariskan. Para pemain mencoba menyoroti fenomena perampasan ruang hidup yang kerap dikemas dalam narasi pembangunan dan modernisasi.

“Apa yang dulunya ruang tinggal kini berganti menjadi ruang kapital. Warga yang hidup secara turun-temurun terus-menerus harus membuktikan keberadaan mereka di atas tanahnya sendiri,” ungkapnya.

Ely menambahkan, tanah hari ini menjadi persoalan krusial. Segelintir kekuasaan bisa menyerebotnya tanpa menghormati sejarah dan relasi hidup yang telah berlangsung berabad-abad.

Padahal relasi manusia dengan tanah tidak hanya bersifat hukum atau ekonomi, tapi juga spiritual dan kultural. Dalam masyarakat adat, tanah dipandang memiliki jiwa. Maka hilangnya tanah bukan hanya kehilangan aset, melainkan juga kehilangan arah hidup.

“Lewat seni pertunjukan, kami ingin menghadirkan ruang kontemplatif. Tanah itu hidup. Ia punya suara dan sejarah. Maka kami mengajak publik untuk mendengarnya, bukan hanya menghitungnya,” pungkas Elyandra. (Palupi Sastro)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *